Butet Manurung Perintis Sekolah Rimba
Saur Marlina Manurung (lahir di Jakarta, 21 Februari 1972; umur 41 tahun) adalah perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing dan terpencil di Indonesia. Sebagaimana gadis Batak lainnya, ia biasa dipanggil "Butet" dan kini namanya lebih dikenal sebagai Butet Manurung.
Sekolah rintisan pertama kali ia terapkan bagi masyarakat Orang Rimba (Suku Kubu) yang mendiami Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Metode yang diterapkannya bersifat setengah antropologis. Pengajaran membaca, menulis, dan berhitung dilakukan sambil tinggal bersama masyarakat didiknya selama beberapa bulan. Sistem ini dikombinasi dengan mempertimbangkan pola kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Setelah tersusun secara sistematis, ia mengembangkan sistem Sokola Rimba (diambil dari bahasa yang digunakan orang Rimba, salah satu dialek bahasa Melayu). Sistem Sokola Rimba kemudian diterapkan pula di berbagai tempat terpencil lainnya di Indonesia, seperti di Halmahera dan Flores.
Saur Marlina Manurung baru memiliki satu murid. Namanya Gentar. Seorang anak rimba berusia kira-kira 10 tahun. Memiliki semangat belajar luar biasa di tengah kepercayaan adat yang menganggap sekolah itu tabu.
Tak ada ruang kelas. Tak ada meja dan bangu. Apalagi seragam dan sepatu. Sekolah pun berlangsung sembunyi-sembunyi di belantara hutan. Pelajarannya: membaca, menulis, dan berhitung.
Saur Marlina yang akrab dengan sapaan Butet Manurung harus menghadapi kemarahan orangtua Gentar. Ia menerima ancaman untuk segera menyudahi sekolah. Jika tidak, orangtua Gentar akan bunuh diri.
Sungguh situasi sulit bagi Butet. Pada saat yang sama, Gentar juga mengancam akan bunuh diri jika ia benar-benar berhenti mengajar dan meninggalkan hutan.
Kekacauan itu membuat masyarakat rimba turun tangan. Melalui pendekatan kekeluargaan, Butet akhirnya tetap boleh mengajar. Syaratnya satu: Gentar tidak boleh meninggalkan hutan dan beralih agama.
Kisah dramatis itu hanyalah penggalan dari sejuta pengalaman Butet selama memperjuangkan pendidikan di masyarakat pedalaman di hutan Bukit Duabelas, Jambi. Penggalan catatan harian yang tertuang dalam buku terbarunya: The Jungle School.
***
Tahun 1999 adalah pertama kalinya Butet menginjakkan kaki di hutan Bukit Duabelas. Misinya hanya satu, memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak suku pedalaman.
Datang dari kota besar, ia memulai perjuangan berat. Selama tujuh bulan, ia berjuang hanya untuk bisa diterima dalam komunitas Orang Rimba. Ia terusir dari satu komunitas ke komunitas lain tanpa memahami bahasa mereka. "Tapi saya tidak menyerah, sekalipun saya nyaris mati," ujar Butet, saat peluncuran bukunya.
Perkenalannya dengan Gentar menjadi jalan pintas untuk mendekati anak-anak di sana. Gentar membantunya membujuk anak-anak rimba bahwa pendidikan itu penting sebagai modal menjaga hutan yang menajdi rumah mereka.
The Jungle School terbagi dua bagian. Pertama mengisahkan pengalaman hidup Butet di hutan. Mulai perjuangan beratnya beradaptasi dengan lingkungan hutan, mendekati masyarakat, hingga hubungan sosialnya dengan Orang Rimba.
Bagian kedua menceritakan pemikiran Butet dalam mengembangkan pendidikan anak rimba. Mulai dari pentingnya memberdayakan anak rimba dalam program pelestarian hutan, hingga cerita Butet mendirikan lembaga pendidikan SOKOLA pada tahun 2003.
Lembaga SOKOLA memiliki misi memperjuangkan pendidikan di area remote atau suku pedalaman. Selain Bukit Duabelas, SOKOLA juga menjangkau komunitas rimba lain di Aceh, Makassar, Flores, Kajang, dan Halmahera.
Seluruh hasil penjualan buku seharga Rp175 ribu akan dimanfaatkan sepenuhnya untuk membantu program pendidikan Lembaga SOKOLA yang terancam terhenti.
The Jungle School
Penulis: Butet Manurung
Tebal: 252 halaman
Penerbit: Yayasan Sokola
Belajar bersama |
Saur Marlina Manurung (lahir di Jakarta, 21 Februari 1972; umur 41 tahun) adalah perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing dan terpencil di Indonesia. Sebagaimana gadis Batak lainnya, ia biasa dipanggil "Butet" dan kini namanya lebih dikenal sebagai Butet Manurung.
Sekolah rintisan pertama kali ia terapkan bagi masyarakat Orang Rimba (Suku Kubu) yang mendiami Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Metode yang diterapkannya bersifat setengah antropologis. Pengajaran membaca, menulis, dan berhitung dilakukan sambil tinggal bersama masyarakat didiknya selama beberapa bulan. Sistem ini dikombinasi dengan mempertimbangkan pola kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Setelah tersusun secara sistematis, ia mengembangkan sistem Sokola Rimba (diambil dari bahasa yang digunakan orang Rimba, salah satu dialek bahasa Melayu). Sistem Sokola Rimba kemudian diterapkan pula di berbagai tempat terpencil lainnya di Indonesia, seperti di Halmahera dan Flores.
Saur Marlina Manurung baru memiliki satu murid. Namanya Gentar. Seorang anak rimba berusia kira-kira 10 tahun. Memiliki semangat belajar luar biasa di tengah kepercayaan adat yang menganggap sekolah itu tabu.
Tak ada ruang kelas. Tak ada meja dan bangu. Apalagi seragam dan sepatu. Sekolah pun berlangsung sembunyi-sembunyi di belantara hutan. Pelajarannya: membaca, menulis, dan berhitung.
Saur Marlina yang akrab dengan sapaan Butet Manurung harus menghadapi kemarahan orangtua Gentar. Ia menerima ancaman untuk segera menyudahi sekolah. Jika tidak, orangtua Gentar akan bunuh diri.
Sungguh situasi sulit bagi Butet. Pada saat yang sama, Gentar juga mengancam akan bunuh diri jika ia benar-benar berhenti mengajar dan meninggalkan hutan.
Kekacauan itu membuat masyarakat rimba turun tangan. Melalui pendekatan kekeluargaan, Butet akhirnya tetap boleh mengajar. Syaratnya satu: Gentar tidak boleh meninggalkan hutan dan beralih agama.
Kisah dramatis itu hanyalah penggalan dari sejuta pengalaman Butet selama memperjuangkan pendidikan di masyarakat pedalaman di hutan Bukit Duabelas, Jambi. Penggalan catatan harian yang tertuang dalam buku terbarunya: The Jungle School.
***
Tahun 1999 adalah pertama kalinya Butet menginjakkan kaki di hutan Bukit Duabelas. Misinya hanya satu, memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak suku pedalaman.
Datang dari kota besar, ia memulai perjuangan berat. Selama tujuh bulan, ia berjuang hanya untuk bisa diterima dalam komunitas Orang Rimba. Ia terusir dari satu komunitas ke komunitas lain tanpa memahami bahasa mereka. "Tapi saya tidak menyerah, sekalipun saya nyaris mati," ujar Butet, saat peluncuran bukunya.
Perkenalannya dengan Gentar menjadi jalan pintas untuk mendekati anak-anak di sana. Gentar membantunya membujuk anak-anak rimba bahwa pendidikan itu penting sebagai modal menjaga hutan yang menajdi rumah mereka.
The Jungle School terbagi dua bagian. Pertama mengisahkan pengalaman hidup Butet di hutan. Mulai perjuangan beratnya beradaptasi dengan lingkungan hutan, mendekati masyarakat, hingga hubungan sosialnya dengan Orang Rimba.
Bagian kedua menceritakan pemikiran Butet dalam mengembangkan pendidikan anak rimba. Mulai dari pentingnya memberdayakan anak rimba dalam program pelestarian hutan, hingga cerita Butet mendirikan lembaga pendidikan SOKOLA pada tahun 2003.
Lembaga SOKOLA memiliki misi memperjuangkan pendidikan di area remote atau suku pedalaman. Selain Bukit Duabelas, SOKOLA juga menjangkau komunitas rimba lain di Aceh, Makassar, Flores, Kajang, dan Halmahera.
Seluruh hasil penjualan buku seharga Rp175 ribu akan dimanfaatkan sepenuhnya untuk membantu program pendidikan Lembaga SOKOLA yang terancam terhenti.
The Jungle School
Penulis: Butet Manurung
Tebal: 252 halaman
Penerbit: Yayasan Sokola
1 komentar:
sepengetahuan saya, perintis pendidikan alternatif itu Yusak Hutapea. Beliau meninggal setelah diserang malaria. Baru kemudian KKI Warsi mencari pengganti Bang Yusak, membuka lowongan fasilitator pendidikan, dan salah satu yang direkruit adalah Saur Marlina Manurung
Post a Comment